Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) merupakan salah satu faktor penunjang kemajuan Sumber Daya Manusia (SDM), karena dengan adanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi suatu negara bisa bersaing dan disetarakan dengan negara-negara lain. Setiap manusia diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah SWT, agar menjadi orang berkualitas yang dapat menjunjung tinggi derajatnya. Maka dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi manusia akan lebih bermanfaat, baik untuk dirinya maupun untuk masyarakat. Akan tetapi, semua itu tergantung kemampuan yang timbul dari orang itu sendiri.
1. Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK)
Sebelum memaparkan ilmu pengetahuan
dan teknologi, perlu diketahui sekilas tentang perbedaan antara pengetahuan dan
ilmu agar tidak terjebak pada kesalahpahaman mengenai keduanya, sehingga bisa
memahami dengan mudah dan benar apa yang dimaksud dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem,
dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Ilmu menurut
Al-Qur’an adalah rangkaian keterangan yang bersumber dari Allah yang diberikan
kepada manusia baik melalui Rasulnya atau langsung kepada manusia yang
menghendakinya tentang alam semesta sebagai ciptaan Allah yang bergantung
menurut ketentuan dan kepastian-Nya.
Sementara itu, pengetahuan adalah
keseluruhan pengetahuan yang belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun
fisik. Dapat juga dikatakan pengetahuan adalah informasi yang
berupa common sense, sedangkan ilmu sudah merupakan bagian yang lebih
tinggi dari itu karena memiliki metode dan mekanisme tertentu. Jadi ilmu lebih
khusus daripada pengetahuan, tetapi tidak berarti semua ilmu adalah
pengetahuan. Menurut Sutrisno Hadi, ilmu kumpulan dari
pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan dari sejumlah orang-orang
yang dipadukan secara harmonis dalam suatu bangunan yang teratur. Sedangkan
teknologi adalah kemampuan teknik yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta
dan berdasarkan proses teknis.
2. IPTEK dilihat dari
pandangan Islam
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menurut
pandangan Al-Qur’an mengundang kita untuk menengok sekian banyak ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya. Menurut ulama terdapat 750 ayat
Al-Qur’an yang menjelaskan tentang alam beserta fenomenanya dan memerintahkan
manusia untuk mengetahui dan memanfaatkannya. Allah SWT berfirman dalam QS
Al-Baqarah ayat 31 yang artinya :“Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian diperintahkan kepada malaikat-malaikat, seraya berfirman
“Sebutkan kepadaku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar”. Dari ayat di
atas yang dimaksud nama-nama adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti
manusia berpotensi mengetahui rahasia alam semesta. Adanya potensi tersebut,
dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam untuk
membangkang pada perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat
memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu
menghantarkan pada manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam itu merupakan
buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk
terus berupaya meningkatkan kemampuan ilmiahnya. Jangankan manusia biasa, Rasul
Allah Muhammad SAW pun diperintahkan agar berusaha dan berdoa agar selalu
ditambah pengetahuannya (QS Yusuf : 72).
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia
untuk terus mengembangkan teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah yang
dilimpahkan kepadanya. Karena itu, laju IPTEK memang tidak dapat dibendung,
hanya saja mabusia dapat berusaha mengarahkan diri agar tidak diperturutkan
nafsunya untuk mengumpulkan harta dan IPTEK yang dapat membahayakan dirinya dan
yang lainnya.
2.1. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di jaman Islam
Islam pernah berjaya di bidang
IPTEK sekitar abad VIII sampai dengan abad XIII. Tradisi keilmuan umat Islam
dipelopori oleh Al-Kindi (filosof penggerak dan pengembang ilmu pengetahuan)
yang mengatakan bahwa Islam itu dapat memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi
dari manapun sumbernya, asalkan tidak bertenangan dengan akidah dan syariat.
Hal ini sejalan dengan hadits nabi yang menyuruh umatnya berlayar sampai ke
negeri China untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Padahal China adalah negara non
muslim. Menurut Harun Nasution, pemikiran rasional berkembang pada jaman Islam
(650-1250 M). Pemikiran ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana
tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadits.
Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan
sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam
Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria),
dan Bactra (Persia). W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika
Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar.
Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian pada sekitar tahun 900 M ke
Baghdad. Maka para khalifah dan para pemimpin kaum Muslim lainnya menyadari apa
yang harus dipelajari dari ilmu pengetahuan Yunani. Mereka mengagendakan agar
menerjemahkan sejumlah buku penting dapat diterjemahkan. Beberapa terjemahan
sudah mulai dikerjakan pada abad kedelapan. Penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mūn (813-833 M). Dia mendirikan Bayt al-Ḥikmah,
sebuah lembaga khusus penerjemahan. Sejak saat itu dan seterusnya, terdapat
banjir penerjemahan besar-besaran. Penerjemahan terus berlangsung sepanjang
abad kesembilan dan sebagian besar abad kesepuluh.
2.2. Masa kejayaan dan kemuduran IPTEK di kalangan Islam
Dari buku “Ilmuwan Muslim Sepanjang
Sejarah” yang ditulis oleh M. Natsir Arsyad, diperoleh beberapa informasi
tentang nama-nama ilmuwan Islam yang mengharumkan namanya. Diantaranya adalah
Al-Khawārizmī (Algorismus atau Alghoarismus) merupakan tokoh penting dalam
bidang matematika dan astronomi. Istilah teknis algorisme diambil dari namanya.
Dia memberi landasan untuk aljabar. Istilah “algebra” diambil dari judul
karyanya. Karya-karyanya adalah rintisan pertama dalam bidang aritmatika yang
menggunakan cara penulisan desimal seperti yang ada dewasa ini, yakni
angka-angka Arab. Al-Khawārizmī dan para penerusnya menghasilkan metode-metode
untuk menjalankan operasi-operasi matematika yang secara aritmatis mengandung
berbagai kerumitan, misalnya mendapatkan akar kuadrat dari satu angka. Di
antara ahli matematika yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
adalah al-Nayrīzī atau Anaritius (w. 922 M) dan Ibn al-Haytham atau Alhazen (w.
1039 M). Ibn al-Haytham menentang teori Eucleides dan Ptolemeus yang menyatakan
bahwa sinar visual memancar dari mata ke obyeknya, dan mempertahankan pandangan
kebalikannya bahwa cahayalah yang memancar dari obyek ke mata. Di bidang
astronomi, al-Battānī (Albategnius) menghasilkan table-tabel astronomi yang
luar biasa akuratnya pada sekitar tahun 900 M. Ketepatan observasi-observasinya
tentang gerhana telah digunakan untuk tujuan-tujuan perbandingan sampai tahun
1749 M. Selain al-Battānī, ada Jābir ibn Aflaḥ (Geber) dan al-Biṭrūjī
(Alpetragius). Jābir ibn Aflaḥ dikenal karena karyanya di bidang trigonometri
sperik. Di bidang astronomi dan matematika, ada juga Maslamah al-Majrīṭī (w.
1007 M), Ibn al-Samḥ, dan Ibn al-Ṣaffār. Ibn Abī al-Rijāl (Abenragel) di bidang
astrologi.
Dalam bidang kedokteran ada Abū
Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī atau Rhazes (250-313 H/864-925 M atau 320
H/932 M) , Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), Ibn Rushd atau Averroes
(1126-1198 M), Abū al-Qāsim al-Zahrāwī (Abulcasis), dan Ibn Ẓuhr atau Avenzoar
(w. 1161 M). Al-Ḥāwī karya al-Rāzī merupakan sebuah ensiklopedi mengenai
seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya. Untuk setiap penyakit dia
menyertakan pandangan-pandangan dari para pengarang Yunani, Syiria, India,
Persia, dan Arab, dan kemudian menambah catatan hasil observasi klinisnya
sendiri dan menyatakan pendapat finalnya. Buku Canon of
Medicine karya Ibnu Sīnā sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada
abad ke-12 M dan terus mendominasi pengajaran kedokteran di Eropa
setidak-setidaknya sampai akhir abad ke-16 M dan seterusnya. Tulisan Abū
al-Qāsim al-Zahrāwī tentang pembedahan (operasi) dan alat-alatnya merupakan
sumbangan yang berharga dalam bidang kedokteran.
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan
al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan
metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya.
Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang
belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi. Tetapi dari tahun ke tahun para ilmuwan muslim
yang muncul semakin sedikit, salah satunya dari Negara Indonesia adalah Prof.
Dr. B. J. Habibie dalam bidang kedirgantaraan.
Disamping dari tahun ke tahun ilmuwan muslim yang
muncul sedikit, menurut Prof. Dr. Abdus Salam dalam bukunya “Sains dan Dunia
Islam” yang diterjemahkan oleh Prof. Dr. Achmad Baiquni yang mengatakan : “Pada
hemat saya, matinya kegiatan sains di persemakmuran Islam lebih banyak
disebabkan faktor-faktor internal”. Ibnu Khaldun seorang tokoh sejarahwan
sosial mengatakan : “Kita mendengar baru-baru ini, bahwa di tanah bangsa Franka
dan di pesisir Timur Tengah sedang ditumbuhkan ilmu-ilmu filsafat dengan giat”.
Atas perkataan Ibnu Khaldun di atas, Prof. Abdus Salam mengatakan : “Ibnu
Khaldun tidak memperlihatkan sikap ingin tahu atau menyesal, justru sikap acuh
yang hampir mendekati permusuhan”. Dari ungkapan Prof. Abdus Salam tersebut,
sejak saat itu telah muncul dikotomi antara ayat-ayat kitabiyyah dan ayat-ayat
khauniyyah dikalangan muslim. Jadi timbul persepsi bahwa Islam hanya berbicara
tentang ilmu-ilmu sesuai dengan Al-Qur’an, tetapi tanpa mempelajari dan
mengembangkan ilmu-ilmu yang ada di Al-Qur’an dengan melihat fenomena-fenomena
alam semesta. Sehingga itu merupakan salah satu faktor kemunduran ilmu
pengetahuan di kalangan Islam.
Kita juga sering mendengar ungkapan
cendekiawan Islam maupun ulama bahwa penemuan-penemuan ilmiah yang mutakhir
diungkap dari Al-Qur’an. Tetapi fakta berbicara bahwa yang menemukan bukanlah
orang Islam, tetapi orang-orang baratlah yang menemukan. Kalangan Islam baru
sadar bahwa prinsip ilmu itu ada dalam Al-Qur’an setelah ilmu itu diketemukan
oleh orang non Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kalangan Islam senantiasa
tertinggal dalam perkembangan IPTEK dan terlambat dalam menafsirkan kebenaran
ilmu itu dari Al-Qur’an.
Demikian sekilas gambaran kemajuan
dan kemunduran IPTEK di kalangan Islam, sehingga saat ini ilmuwan di kalangan
Islam sedikit memberikan sumbangsih pada pertumbuhan dan kemajuan IPTEK secara
keseluruhan.
Syarat bangkitnya Ilmu Pegetahuan dan Teknologi (IPTEK) di
kalangan Islam
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh kalangan Islam apabila
berkehendak untuk membangkitkan kembali IPTEK di dunia Islam.
Pertama, kita harus menyadari
dan memahami kembali bahwa tugas kekhalifahan tidak lain adalah memakmurkan
bumi dan berupaya menciptakan bayang-bayang syurga di bumi. Alat untuk
mengemban tugas tersebut adalah IPTEK.
Kedua, kita harus mampu menangkap
pesan-pesan yang terkandung dalam wahyu yang pertama kali turun. Jika
diperhatikan kata iqra’ (baca), maka kita akan dapati bahwa tidak ada obyek
khusus yang harus di baca, tetapi obyeknya bersifat umum, meliputi segala
sesuatu yang dapat dijangkau oleh kata tersebut, yaitu alam semesta, masyarakat
dan manusia itu sendiri.
Ketiga, kalangan Islam harus
menyadari dan memahami bahwa hampir seperdelapan ayat-ayat Al-Qur’an sebenarnya
kita ditegur, agar kalangan Islam senantiasa mempelajari alam semesta, untuk
berfikir dengan menggunakan penalaran yang sebaik-baiknya, untuk menjadikan
kegiatan ilmiah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat
Islam.
Keempat, kita harus ingat sabda Nab Muhammad SAW : “
Sesungguhnya orang yang berilmu adalah pewaris Nabi” , kalimat tersebut
mempunyai dua sisi yang merupakan satu kesatuan. Sisi pertama, memang orang
berilmulah yang berhak disebut sebagai pewaris Nabi, dan sisi kedua,
orang-orang yang mewarisi akhlak Nabilah yang layak disebut sebagai pewaris
Nabi. Dengan demikian orang memiliki ilmu dan berakhlakul karimah Nabi yang
layak disebut pewaris Nabi dalam segala bidang ilmu apapun yang ditekuninya.
Kelima, kita harus menyadari
dan memahami bahwa Al-Qur’an QS Az Zumar ayat 9 menekankan bahwa
apakah sama orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dengan orang-orang yang tidak
berpengetahuan. Ayat di atas merupakan sindiran untuk menyadarkan
kalangan Islam agar mempunyai kesadaran ilmiah.
Keenam, Para penguasa (pengambil
keputusan) hendaknya menyadari dan memahami bahwa kedudukan mereka sangat
startegis dalam menumbuhkan suasan kehidupan ilmiah, karena tumbuh suburnya
IPTEK ergantung pada kebijakan-kebijakan yang dilahirkan.
Ketujuh, para konglongmerat
muslim seharusnya bersatu dalam suatu wadah untuk membiayai proyek atau
program-program yang berkenaan dengan pengembangan IPTEK.
Kedelapan, para pengasuh pondok
pesantren mulai membuka diri pada IPTEK, dengan memasukkan IPTEK pada kurikulum
dan kegiatannya, tanpa menggeser agama.
Dari delapan syarat di atas, merupakan faktor penting bagi kebangkitan IPTEK di
kalangan Islam.
Tag : laksmanhakiem93.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar